Monday, July 5, 2010

“Pencemaran : Sumber Kiamat” (2)

Oleh : Idan Awaludin

Beberapa ahli kesehatan lingkungan menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya zat atau kotaminan yang berbahaya hasil aktifitas manusia maupun alamiah kedalam media lingkungan (badan air, udara dan tanah) berdampak buruk bagi kesehatan manusia, ekosistem dan pembangunan berkelanjutan[1]. Berdasarkan sumbernya pencemaran dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yakni pencemaran fisik, kimia, biologi dan radiologi. Sedangkan menurut medianya pencemaran juga dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, adalah pencemaran air, tanah, udara dan makanan atau minuman. Secara langsung atau tidak langsungnya, pencemaran sering dikategorikan sebagai pencemaran primer dan pencemaran sekunder. Zat atau kontaminan dapat dikatakan sebagai pencemar lingkungan jika kadarnya berada pada nilai yang berisiko menurunkan tingkat kesehatan masyarakat dan keseimbangan hayati. Pencemaran lingkungan tidak hanya dapat dilakukan oleh suatu industri, pabrik atau perusahaan – perusahaan yang aktifitasnya besar, tetapi setiap kegiatan manusia yang dapat menghasilkan sampah atau limbah sudah berpotensi melakukan pencemaran. Di sekitar lingkungan kita sendiri, masalah pencemaran seperti bersumber dari limbah rumah tangga sudah menjadi problematika benang kusut yang pengelolaannya membutuhkan manajemen khusus. Pencemaran berhubungan dengan masalah kesadaran manusia dan perilakunya supaya tidak serakah dalam beraktifitas. Nilai – nilai etika lingkungan sudah seharusnya dijunjung tinggi bagi kita semua dalam melakukan hubungannya dengan alam.

Masalah pencemaran membutuhkan perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat, mengingat bahaya yang ditimbulkan dapat menjadikannya sebagai sumber bencana atau bahkan lambat laun menjadi sumber kiamat. Tentunya hal itu, bukan menjadikan masalah pencemaran sebagai suatu hal yang dibesar – besarkan. Tetapi kita selalu diingatkan dengan berbagai peristiwa keserakahan manusia yang menghasilkan dampak pencemaran luar biasa. Salah satu contoh kasus di Indonesia adalah tragedi lumpur lapindo yang dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini adalah terjadinya semburan lumpur panas yang menyebabkan banjir dan menggenangi areal persawahan, rumah warga, dan kawasan industri. Volume lumpur panas yang disemburkan diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar)[2]. Hal ini mengakibatkan terganggunya seluruh aktifitas perekonomian di Jawa Timur, bahkan warga sebanyak total 8.200 jiwa harus dievakuasi; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 Ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang - Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur[3]. Secara kesehatan lumpur juga berbahaya bagi manusia, karena memiliki kandungan logam berat Hg mencapai 2,565 mg/liter melebihi ambang batasnya yakni 0,002 mg/liter[4]. Diketahui bahwa Hg dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan, iritasi kulit dan kanker. Diluar itu semua, banyak juga yang melaporkan tentang masalah pencemaran air, tanah dan udara terkait masalah lumpur lapindo tersebut.

Selain Indonesia, sebenarnya warga dunia telah berkali – kali diingatkan akan bahaya yang ditimbulkan akibat pencemaran. Pada awal tahun 1958 kasus Minamata menjadi trauma tersendiri bagi warga Jepang pada zamannya saat itu. Ratusan orang meninggal dunia akibat penyakit aneh dengan gejala kelumpuhan syaraf. Lebih dari 3000 orang diperkirakan menderita penyakit minamata itu. Bayi – bayi yang dilahirkan menderita kelumpuhan dan bahkan meninggal dunia, sehingga ibu hamil lebih rela jika kandungannya dilakukan aborsi. Sampai tahun 1993, pengadilan Jepang masih menangani kasus minamata sebagai upaya ganti rugi yang cocok terhadap para korbannya. Hampir empat puluh tahunnya kasus minamata itu masih menyisakan berbagai masalah. Bahkan seumur hidup warga Jepang tidak akan pernah melupakan kasus yang mengerikan itu. Minamata terjadi karena pencemaran limbah merkuri yang dibuang oleh perusahaan batu baterei Chisso Corporation menyebabkan tingginya kandungan methylmercury pada ikan di Teluk Minamata. Sebagai pihak yang bertanggung jawab, Chisso Corporation harus menutup pabriknya dan menanggung kerugian pada masyarakat kurang lebih 26,6 juta dollar[5].

Kasus minamata sebagai contoh pencemaran pada badan air, lain halnya dengan kasus pencemaran di udara. Bencana Chernobyl menempati urutan pertama termahal sepanjang sejarah bagi kasus pencemaran udara. Bencana ini mempengaruhi 1,7 juta orang dan 200.000 penduduk harus meninggalkan area yang tercemar tersebut[6]. Total kerugian akibat bencana ini diperkirakan mencapai $200 Milyar. Banyak kasus lainnya yang semestinya menjadi pelajaran berharga bagi kita akan bahayanya pencemaran lingkungan. Meskipun awalnya kita tidak menyadari bahwa masalah kecil tidak memungkinkan untuk menjadi masalah besar. Suatu saat nanti bencana – bencana pencemaran lingkungan kecil yang terus dilakukan pengulangan akan menjadi bencana besar yang berujung kepada kehancuran dunia.

Sebelum kehancuran dunia terjadi akibat pencemaran lingkungan maka berbagai aspek perlu diperbaiki. Diawali dengan program pendidikan dini pengetahuan akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai upaya menanamkan kesadaran berlingkungan hidup. Informasi tentang berlingkungan hidup akan membentuk nilai – nilai kesadaran lingkungan yang membentuk sikap dan karakter kepeduliannya. Selain itu, dibutuhkan juga pemimpin yang totalitas memiliki komitmen memberikan perlindungan bagi lingkungan hidup. Kita perlu belajar dari Pemerintah Kota Bogota yang lebih menghargai hak manusianya daripada alat transportasi. Mereka menyediakan jalan lebar dan bagus bagi para pengguna jalan kaki dan tidak bagi jalan kendaraan yang menyebabkan kemacetan serta pencemaran udara. Usaha yang maksimal membuat kota tersebut menjadi cermin bagi kota – kota besar lainnya di dunia sebagai kota yang menghargai lingkungannya. Bukan hanya Bogota tetapi di Indonesia sendiri kita telah memiliki banyak contoh tentang keberhasilan pengelolaan lingkungan yang baik, yakni salah satunya adalah Lumajang di Jawa Timur. Semuanya mengawali dengan membangun budaya kesadaran berlingkungan yang sehat. Diikuti dengan proses evaluasi dan peningkatan mutu kualitas lingkungan yang terus – menerus.


[1] Prof. Haryoto, dkk 2008. “Rangkuman pembahasan kuliah pengelolaan limbah”, Februari 2008

[2] Wibisono Yusuf, 2006. “Lumpur Lapindo : Akar dan Masalahnya” Blogs Sains in Religion, Oktober 2006

[3] Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas, ibid.

[4] Hamid, A. Bahaya Lumpur Lapindo. ICMI Online. 20 Juni 2006

[5] www.wikipedia.com

[6] Buletin OHSC/01/2010

No comments:

Post a Comment