Monday, July 5, 2010

Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Akibat Pencemar Udara Lumpur Lapindo *kajian imajinasi


"Tetap Lumpur Lapindo, bukan Lumpur Sidoarjo atau Lumpur Porong"

(Hati - hati pengalihan issue)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tragedi semburan panas lumpur di daerah sekitar pengeboran gas PT. Lapindo Brantas di Kelurahan Siring Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini telah menjadi bencana nasional akibat semburan panas yang dikeluarkan telah menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan beberapa kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar)[1]. Bencana ini membawa dampak yang luas bagi masyarakat disekitarnya, terlebih membawa gangguan ekonomi bagi Provinsi Jawa Timur. Genangan lumpur mencapai tinggi 6 meter pada pemukiman, sehingga 8.200 jiwa warga harus dievakuasi, rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit, areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 Ha, lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang, tidak berfungsinya sarana pendidikan, kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi, rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon), terhambatnya ruas jalan tol Malang - Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Selain mengganggu perekonomian, lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan menyebutkan bahwa lumpur memiliki kandungan logam berat seperti Merkuri (Hg) dan menimbulkan bau yang tidak sedap[2]. Bau yang ditimbulkan lumpur lapindo dapat menyebabkan menurunnya kualitas udara di lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa menyebabkan infeksi saluran pernafasan, iritasi kulit dan bahkan kanker. Lumpur juga memiliki kandungan fenol yang bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan akibat menurunnya kualitas udara terkait banjir lumpur lapindo tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi disekitar lumpur lapindo masih banyak masyarakat yang tinggal dan memilki kemungkinan besar untuk terkena efek kesehatan akibat penurunan kualitas udara tersebut. Sehingga diperlukan suatu studi yang bertujuan untuk memperkirakan tingkat risiko kesehatan (Risk Quotient) akibat pencemaran udara dari lumpur Lapindo dan manajemen pengendaliannya.

1.2. Uraian Wilayah Studi dan Demografi

Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang mengalami perkembangan pesat. Kabupaten Sidoarjo memiliki potensi di berbagai bidang seperti industri dan perdagangan, pariwisata, serta usaha kecil dan menengah. Kabupaten ini terletak antara 112,50 dan 112,90 BT dan antara 7,30 dan 7,50 LS. Batas sebelah utara adalah Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan, sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten Mojokerto. Terdiri dari 18 Kecamatan, yaitu : Sidoarjo, Buduran, Candi, Porong, Krembung, Tulangan, Tanggulangin, Jabon, Krian, Balongbendo, Wonoayu, Tarik, Prambon, Taman, Waru, Gedangan, Sedati dan Sukodono. Berdasarkan topografinya, Kabupaten Sidoarjo memiliki dataran delta dengan ketinggian antara 0 sampai dengan 25 meter, ketinggian 0 – 3 meter dengan luas 19.006 Ha, meliputi 29,99%, merupakan daerah pertambakkan yang berada di wilayah bagian timur. Wilayah bagian tengah yang berair tawar dengan ketinggian 3 - 10 meter dari permukaan laut merupakan daerah pemukiman, perdagangan dan pemerintahan yakni meliputi 40,81 %. Wilayah bagian barat dengan ketinggian 10 - 25 meter dari permukaan laut merupakan daerah pertanian yang meliputi 29,20%. Kabupaten Sidoarjo terletak diantara dua aliran sungai yaitu Kali Surabaya dan Kali Porong yang merupakan cabang dari Kali Brantas yang berhulu di kabupaten Malang. Beriklim topis dengan dua musim, musim kemarau pada bulan Juni sampai Bulan Oktober dan musim hujan pada bulan Nopember sampai bulan Mei. Adapun jumlah penduduknya disajikan dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1.

Penduduk Menurut Umur di 3 (Tiga) Kecamatan

Tahun 2006

No

Kecamatan

Penduduk Menurut Umur (tahun)

Jumlah

0 – 3

4 - 6

7 – 12

13 – 15

16 – 18

19 <

1.

Porong

6 .989

3 .706

6 .535

4. 723

4. 781

37 .285

64.019

2.

Tanggulangin

13. 407

11. 539

15. 863

13 .776

7 .057

29 .042

90.684

3.

Jabon

3 .389

3 .419

4 .713

4 .858

3 .561

24 .005

43.945

Jumlah

23.785

18.664

27.111

23.357

15.399

90.332

198.648


Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sidoarjo


Tabel 2.

Penduduk Menurut Mata Pencaharian dan Kecamatan

Tahun 2006

No.

Kecamatan

PNS

TNI

POLRI

SWASTA

WIRASWASTA

PETANI

1.

Porong

1,136

756

297

7,544

2,737

2,252

2.

Tanggulangin

1,425

730

280

19,458

5,950

3,750

3.

Jabon

440

213

29

9,336

1,621

975

Jumlah

3,001

1,699

606

36,338

10,308

6,977

Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sidoarjo

Adapun populasi yang memiliki risiko lebih tinggi akibat pencemaran udara (Purwana, 1997) adalah sebagai berikut :

1. Anak – anak kurang dari 13 tahun (pra remaja)

2. Orang usia lanjut

3. Kelompok umur kurang dari 18 tahun dengan asma

4. Orang dewasa yang berumur 18 tahun lebih

5. Para penderita penyakit paru – paru obstruksi menahun

Anak – anak menjadi sangat rentan, karena :

1. Anak memiliki aktivitas tinggi dan terpajan oleh partikel lebih banyak, berhubungan dengan hygiene perorangan

2. Anak masih dalam perkembangan, kerusakan pada masa anak – anak memiliki pengaruh pada masa dewasa

1.3. Uraian Proses Kegiatan

Menurut berbagai ahli kejadian lumpur lapindo merupakan suatu kesalahan prosedural[3]. Terjadi karena lubang galian belum disumbat dengan cairan beton sebagai sampul menimbulkan semburan gas Lapindo yang memecahkan formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13 - 3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.

Kecerobohan prosedural yang menimbulkan bencana semburan lumpur Lapindo mengakibatkan setiap harinya terjadi peningkatan kuantitas risk agent seperti SO2, NO2, CO, HK, H2S, NH3 dan Debu. Apalagi disekitar lumpur Lapindo masih terdapat banyak masyarakat yang tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya pajanan risk agent terhadap populasi yang tinggal disekitar itu. Langkah – langkah untuk menanggulanginya perlu diupayakan segera oleh pemerintah setempat.

1.4. Agen Risiko dan Jalur Pemajanan

Risk agent yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo adalah SO2, H2S, NH3, NO2 dan TSP sedangkan untuk CO dan HK tidak dibahas pada studi ini. SO2 dapat menimbulkan gangguan sistem pernafasan, mempengaruhi fungsi paru - paru, menimbulkan iritasi mata dan menimbulkan bau. SO2 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesehatan yang akut dan kronis. Selain SO2, terdapat juga H2S yang menimbulkan efek terhadap manusia adalah menimbulkan bau, mengakibatkan iritasi mata dan mulai berair, batuk - batuk, pembengkakan mata dan rasa kekeringan di tenggorokan, kehilangan kesadaran serta bisa mematikan. Adapun amoniak yang merupakan senyawa kimiadenganrumus NH3, biasanya senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amoniak). Kontak dengan gas amoniak berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan paru - parudan bahkan kematian. Risk agent lainnya adalah nitrogen dioksida dengan rumus kimia NO2. Pada konsentrasi tinggi, paparan NO2 dapat mengakibatkan kerusakan paru - paru yang berat dan cepat. Pengaruh kesehatan mungkin juga terjadi pada konsentrasi ambient yang jauh lebih rendah. Begitu juga dengan Debu bila terhirup dalam jumlah banyak, dapat menimbulkan gangguan paru pula. Debu ini mengandung partikel - partikel besi, timah putih, asbes dan lainnya. Kemampuan debu untuk bisa masuk ke dalam paru tergantung dari besar kecilnya partikel tersebut. Bila partikel debu yang masuk ke dalam paru berukuran diameter 5 ¬ 10 mikron (1 mikron = 1/1000 milimeter), maka akan tertahan dan melekat pada dinding saluran pernafasan bagian atas. Sedangkan yang berukuran 3 - 5 mikron akan masuk lebih dalam dan tertimbun pada saluran nafas bagian tengah. Partikel debu berukuran 1 - 3 mikron akan masuk lebih dalam lagi sampai ke alveoli dan mengendap. Sedangkan yang ukurannya lebih kecil dari 1 mikron, tidak mengendap di alveoli karena teramat ringan dan pengaruh adanya peredaran udara.


Adapun jalur pemajanan secara umum dari
risk agent gas dan debu dapat dilihat pada bagan dibawah sebagai berikut ini :


Pada awalnya risk agent di udara ambient berupa debu dan gas terhirup oleh hidung, partikel yang berukuran > 2,5 μm terdeposit di nasopharing dan tracheobronchial yang kemudian di transfer oleh mucociliary ke esophagus utuk ditangkap. Sedangkan partikel yang berukuran <>Risk agent yang sampai ke alveoli diabsorpsikan ke saluran darah yang dapat terdeposit atau sampai pada setiap organ tubuh yang ditujunya.

1.5. Kepedulian Masyarakat

Masyarakat di Porong, Sidoarjo sering mengeluhkan sesak nafas akibat bau yang ditimbulkan semburan lumpur Lapindo menurut Muhammad Sifa, warga Permisan, Porong, Sidoarjo. Hal itu senada dengan beberapa ahli/pakar yang melakukan kajian lingkungan akibat lumpur Lapindo. Menurut Yuliani dalam bukunya yang berjudul “Bahaya Industri Migas di Kawasan Huni” menyebutkan bahwa di kawasan Porong, setelah muncul semburan lumpur Lapindo, kandungan hidrokarbon di udara mencapai 55.000 ppm. Padahal ambang batas normal keberadaan hidrokarbon di udara hanya 0,24 ppm. Sehingga mengakibatkan peningkatan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang tinggi di masyarakat sekitarnya. Pada tahun 2006, saat munculnya semburan Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, namun pada tahun 2008 telah meningkat menjadi 46 ribu orang[4].

II. MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun maksud dan tujuan dari studi analisis dan manajemen pencemaran udara akibat lumpur Lapindo ini adalah sebagai berikut :

1. Memperkirakan tingkat risiko kesehatan warga di lokasi studi akibat pencemaran udara lumpur Lapindo

2. Mengetahui apakah lokasi studi yang dilakukan aman untuk dihuni masyarakat

3. Merumuskan pengelolaan dan pengendalian risiko kesehatan jika lokasi studi tidak aman untuk dihuni masyarakat

III. METODE DAN CARA

Studi ini dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko kesehatan pada warga akibat pencemaran udara yang ditimbulkan oleh lumpur Lapindo. Karakteristik risiko dinyatakan dengan tingkat risiko (Risk Quotient) merupakan pembagian antara asupan inhalasi (I) dan reference concentration (RfC). Selain itu untuk menentukan asupan inhalasi dibutuhkan juga parameter antropometri (berat badan dan laju inhalasi), pola aktivitas (waktu, frekuensi dan durasi pemajanan) dan sebagainya. Tingkat risiko dihitung dengan persamaan 1 dan asupan inhalasi (I) dihitung dengan menggunakan persamaan 2 (Louvar and Louvar,1998).


Keterangan :

I = asupan inhalasi (mg risk agent/kg berat badan individu/hari)

C = konsentrasi risk agent di udara (mg risk agent/M3 udara)

R = laju inhalasi (M3 udara/jam)

tE = lama pajanan (jam/hari)

fE = frekuensi pajanan, 350 hari/tahun untuk nilai default residensial

Dt = durasi pajanan, 30 tahun untuk default bagi populasi resdensial

Wb = berat badan individu (kg)

tavg = perioda waktu rata – rata (Dt 365 hari/tahun untuk nonkarsinogen, 70 tahun, 365 hari/tahun untuk karsinogen)

Risk agent pencemar udara akibat kejadian lumpur Lapindo didapat berdasarkan data hasil ’Surveilans Faktor Risiko Lumpur Pa­nas di Porong Sidoarjo’ oleh BBTKL PPM Surabaya Ditjen PP & PL Depkes RI. Adapun hasil pengukurannya adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Konsentrasi gas dan debu hasil Surveilans Faktor Risiko Lumpur Pa­nas

di Porong Si­do­arjo, Jawa Timur

No

Daerah/Lokasi

Konsentrasi Gas dan Debu (diolah dalam mg/M3)

SO2

NO2

H2S

NH3

Debu

1

Kecamatan Porong

Kelurahan Siring

11,9

4

1,5

17,2

239

Kelurahan Jatirejo

19,9

2,5

1,7

13,6

1.889

Desa Renokenongo

17

3,5

0,1

8,6

357

2

Kecamatan Tanggulangin

Desa Kedungbendo

21,4

2,5

0,1

12,3

223

3

Kecamatan Jabon

Desa Permisan

6,2

2,7

0,2

6,6

149

Desa Pajarakan

5,4

1,9

0,1

17,8

315

Nilai default untuk parameter antropometri dan pola aktivitasnya mengacu terhadap tabel.4 dibawah ini :

Reseptor

Laju Inhalasi (m3/jam)

F. Pajanan (jam)

Berat Badan (Kg)

Durasi Pajanan (thn)

Frekuensi (hari/thn)

Anak – anak

0,5a

18 (6 jam sekolah diluar lokasi)c

15a

2c

350a

Dewasa (IRT)

0,83a

24c

55b

2c

350a

Pekerja

0,83a

14 (10 jam bekerja diluar lokasi)c

70a

2c

350a

Sumber : a U.S.EPA 1990, b Nukman et al (2005), c Asumsi penulis

Untuk menghitung risk quotient dibutuhkan nilai dosis responnya (RfC, mg/kg/hari), adapun nilainya tersebut tercantum dalam tabel.5 dibawah ini :

No.

Agen Risiko

RfC

Efek Kritis dan Sumber Data (Referensi)

1.

SO2

2,6E-2

Gangguan saluran pernafasan (Nukman et al., 2005; Rahman et al., 2008; US-EPA, 1990a)

2.

NO2

2E-2

Gangguan saluran pernafasan (Kolluru, 1996; US-EPA, 1990a)

3.

H2S

2E-3

Lesi nasal lendir olfaktori pada uji hayati tikus inhalasi subkronik (Brenneman, James, Gross, & Dorman, 2000). Revisi terbaru 28 Juli 2003.

4.

NH3

1E-1

Kenaikan keparahan rinitis dan pneumonia dengan lesi pernafasan pada uji hayati tikus subkronik (Broderson, Lindsey , & Crawford, 1976). Bukti – bukti yang kurang penurunan fungsi paru atau perubahan sintomologi subjektif pada studi di lingkungan kerja (Holness, Prudham, & Nethercott, 1989). Revisi terbaru 1 Mei 1991

5.

TSP

2,42

Gangguan saluran pernafasan (Nukman et al., 2005; Rahman et al., 2008; US-EPA, 1990a)

Sumber : Data on-line diperoleh dari IRIS per 2 Mei 2010.

Terdapat beberapa parameter yang tidak dihitung karakteristik risikonya, diantaranya adalah CO (Karbonmonoksida) dan HK (Hidrokarbon). CO (Karbonmonoksida) tidak dihitung nilai RQnya dikarenakan efeknya yang akut yakni penghirupan konsentrasi di atas 2000 ppm akan menyebabkan hilang kesadaran dan kematian, bahkan pada konsentrasi tertentu kematian terjadi dalam beberapa menit. Sedangkan untuk HK (Hidrokarbon) tidak dihitung nlai RQnya dikarenakan nilai dosis responnya belum diketahui.

Perhitungan nilai Risk Quotient, terlebih dahulu menentukan besaran gas dan debu tersebut. Penulis menentukan bahwa besaran gas dan debu tersebut dinyatakan dalam µg/M3. Dikarenakan menurut informasi diatas bahwa besaran gas dan debu tersebut masih dibawah nilai ambang batas berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999. Maka penulis membandingkannya dengan peraturan tersebut dan hasil yang menunjukkan sesuai adalah dalam µg/M3. Misalnya diambil salah satu parameter pencemar, yakni kandungan SO2 di Kelurahan Siring besarnya adalah 11,9 x 1000 µg/M3 = 11,9 mg/M3 = 0,0119 mg/dm3 = 0,0119 mg/l atau 0,0119 ppm = 31,149 µg/Nm3. Hasil itu menunjukkan masih berada dibawah ambang batas SO2 menurut peraturan adalah 365 µg/Nm3.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik risiko dihitung berdasarkan setiap segmen populasi dengan nilai default untuk laju inhalasi, berat badan, durasi pajanan dan frekuensi mengacu terhadap tabel.4. Sedangkan untuk perioda waktu rata – ratanya (tavg) adalah 6 tahun (365hari/tahun) untuk subpopulasi anak – anak dan 30 tahun (365hari.tahun) untuk subpopulasi dewasa (ibu rumah tangga) serta pekerja. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan nilai – nilai RQ secara keseluruhan :

Tabel 6

Tingkat Risiko (RQ) SO2, NO2, H2S, NH3 dan TSP

3 Kelompok Subpopulasi di 6 Lokasi Studi Tahun 2010

NO

LOKASI

ANAK - ANAK

SO2

NO2

H2S

NH3

TSP

1

Kel. Siring

87,777

38,356

143,836

32,986

18,940

2

Kel. Jatirejo

146,786

23,973

163,014

26,082

149,700

3

Ds. Renokenongo

125,395

33,562

9,589

16,493

28,292

4

Kel. Kedungbendo

157,850

23,973

9,589

23,589

17,672

5

Ds. Permisan

45,732

25,890

19,178

12,658

11,808

6

Ds. Pajarakan

39,831

18,219

9,589

34,137

24,963

NO

LOKASI

DEWASA (IBU RUMAH TANGGA)

SO2

NO2

H2S

NH3

TSP

1

Kel. Siring

10,597

4,631

17,365

3,982

2,287

2

Kel. Jatirejo

17,721

2,894

19,680

3,149

18,073

3

Ds. Renokenongo

15,139

4,052

1,158

1,991

3,416

4

Kel. Kedungbendo

19,057

2,894

1,158

2,848

2,134

5

Ds. Permisan

5,521

3,126

2,315

1,528

1,426

6

Ds. Pajarakan

4,809

2,200

1,158

4,121

3,014

NO

LOKASI

PEKERJA

SO2

NO2

H2S

NH3

TSP

1

Kel. Siring

4,857

2,122

7,959

1,825

1,408

2

Kel. Jatirejo

8,122

1,326

9,020

1,433

8,283

3

Ds. Renokenongo

6,939

1,857

0,531

0,913

1,565

4

Kel. Kedungbendo

8,734

1,326

0,531

1,305

0,978

5

Ds. Permisan

2,531

1,433

1,061

0,700

0,653

6

Ds. Pajarakan

2,204

1,008

0,531

1,889

1,381

Berdasarkan tabel 6 diatas, secara keseluruhan nilai RQ untuk setiap risk agent di lokasi studi menurut segmentasi populasinya lebih banyak menunjukkan diatas 1 (satu) kecuali RQ H2S pada pekerja di Desa Renokenongo, Kelurahan Kedungbendo dan Desa Pajarakan ; RQ NH3 pada pekerja di Desa Renokenongo dan Desa Permisan ; RQ TSP pada pekerja di Kelurahan Kedungbendo dan Desa Permisan. Hal itu berarti beberapa gas di udara yang berasal dari semburan lumpur Lapindo sangat berisiko dan membutuhkan pengendalian. Kemungkinan efek toksisitasnya baru dirasakan 6 (enam) tahun kedepan bagi anak – anak dan 30 tahun bagi ibu rumah tangga serta pekerja laki – laki. Adapun perbandingan nilai frekuensi RQ persegmentasi populasi di seluruh wilayah jika dirinci, adalah sebagai berikut Anak - anak > Dewasa (Ibu Rumah Tangga) > Pekerja.

Risk quotient untuk SO2 semuanya berada diatas 1 (satu), yakni berkisar antara 2,204 – 157,850. Perbandingan nilai RQ SO2 berdasarkan wilayah adalah Kelurahan Kedungbendo > Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo > Kelurahan Siring > Desa Permisan > Desa Pajarakan. Sedangkan untuk risk quotient NO2 adalah berkisar diantara 1,008 – 38,356. Perbandingan nilai RQnya untuk NO2 berdasarkan wilayahnya adalah Kelurahan Siring > Desa Renokenongo > Desa Permisan > Kelurahan Jatirejo ≥ Kelurahan Kedungbendo > Desa Pajarakan. Adapun nilai frekuensi RQ H2S berkisar antara 0,531 – 163,014. Terdapat 3 (tiga) lokasi yang nilai RQ H2Snya masih berada dibawah angka 1, karena nilai konsentrasinya pun sama yakni 0,1mg/M3. Perbandingan nilai RQ H2S berdasarkan wilayahnya adalah Kelurahan Jatirejo > Kelurahan Siring > Desa Permisan > Kelurahan Kedungbendo ≥ Desa Renokenongo ≥ Desa Pajarakan. Begitu juga dengan RQ NH3 masih terdapat 2 (dua) wilayah yang berada dibawah angka 1, yakni berkisar diantara 0,700 – 34,137. Perbandingan nilai RQnya untuk NH3 berdasarkan wilayahnya adalah Desa Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Jatirejo > Kelurahan Kedungbendo > Desa Renokenongo > Desa Permisan. Selain itu terdapat juga karakteristik risiko untuk TSP yang berkisar diantara 0,653 – 149,700. Perbandingan nilai RQ TSP berdasarkan wilayahnya adalah Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo > Desa Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Kedungbendo > Desa Permisan.

Adapun perbandingan risk agent ditampilkan dalam tabel.7, sebagai berikut :

LOKASI

PERBANDINGAN RQ RISK AGENT

Kelurahan Siring

H2S > SO2 > NO2 > NH3 > TSP

Kelurahan Jatirejo

H2S > TSP > SO2 > NH3 > NO2

Desa Renokenongo

SO2 > NO2 > TSP > NH3 > H2S

Kelurahan Kedungbendo

SO2 > NO2 > NH3 > TSP > H2S

Desa Permisan

SO2 > NO2 > H2S > NH3 > TSP

Desa Pajarakan

SO2 > NH3 > TSP > NO2 > H2S

Berdasarkan tabel.7 diatas, risk agent menurut risk quotientnya yang paling dominan atau besar disetiap lokasi studi adalah SO2 dan yang paling tidak dominan atau kecil adalah H2S. SO2 merupakan senyawa oksida belerang yang toksik dan dapat menyebabkan hujan asam. Zat tersebut dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit khronis pada sistem pernafasan kadiovaskular. Hal ini karena gas SO2 yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan saluran napas yang lain sampai ke paru - paru. Serangan gas SO2 tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Jika terjadi iritasi pada saluran pernapasan, SO2 dan partikulat bisa menyebabkan pembengkakan membran mukosa. Pembentukan mukosa menimbulkan hambatan aliran udara pada saluran pemapasan. Kondisi ini akan menjadi lebih parah bagi kelompok yang peka, seperti penderita penyakit jantung atau paru - paru, dan para lanjut usia.

Manajemen Risiko

Berbagai kemungkinan untuk manajemen risiko suatu risk agent perlu dilakukan. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan cara menurunkan nilai konsentrasi dari setiap risk agent. Untuk itu diperlukan besaran nilai risk agent yang dibutuhkan supaya frekuensi RQ = 1 atau RQ <>

Tabel 8. Konsentrasi aman (mg/M3) SO2, NO2, H2S, NH3 dan TSP untuk populasi anak – anak, dewasa (IRT) dan pekerja dengan Wb 15 kg, 55 kg dan 70 kg dan fE 350 hari/tahun.

POPULASI

SO2

NO2

H2S

NH3

TSP

Anak – anak

(18 jam/hari)

0,136

0,104

0,010

0,521

12,619

Dewasa

(IRT, 24jam/hari)

1,123

0,864

0,086

4,319

104,521

Pekerja

(14 jam/hari)

2,450

1,885

0,188

9,423

228,046

Langkah selanjutnya adalah menentukan pengendalian supaya risk agent hanya berada pada konsentrasi amannya. Mengingat sumber dari risk agent tersebut berasal dari bencana semburan lumpur panas Lapindo, sehingga pengendalian teknis yang realistis dapat dilakukan adalah dengan pemakaian masker bagi penduduk supaya dapat mengurangi asupan dari konsentrasi risk agent itu sendiri. Namun hal itu merupakan pengendalian bersifat sementara, diperlukan pengendalian yang sifatnya keberlanjutan.

Percobaan kedua untuk manajemen risiko risk agent adalah dengan cara mengurangi waktu kontaknya, yakni memperkecil waktu pajanan harian (tE) dan pajanan tahunan (fE). Dibawah ini disajikan informasinya dalam bentuk tabel (konsentrasi yang dipakai adalah konsentrasi setiap risk agent terbesar) :

Tabel 9. Pengendalian risiko dengan menurunkan tE (jam/hari) dan fE (hari/tahun) pada setiap segmentasi populasi dengan Wb (kg) 15 kg, 55 kg dan 70 kg.

RISK AGENT

Anak – anak

Dewasa (IRT)

Pekerja

Wb

tE

fE

Wb

tE

fE

Wb

tE

fE

SO2

15

0,1

2,2

55

1,3

18,4

70

1,6

40,1

NO2

15

0,5

9,1

55

5,9

75,6

70

7,5

164,9

H2S

15

0,1

2,1

55

1,2

17,8

70

1,5

38,8

NH3

15

0,5

10,3

55

5,8

84,9

70

7,4

185,3

TSP

15

0,1

2,3

55

1,3

19,4

70

1,7

42,3

Berdasarkan tabel 8. diatas tidak mungkin jika harus mengurangi waktu pajanan harian dan pajanan tahunan karena sangat kecil dan tidak realistik, misalnya saja untuk pajanan SO2 bagi pekerja di Desa Kedungbendo hanya aman selama 1,6 jam/hari atau 40 hari/tahun.

Mengingat berbagai manajemen risiko telah diupayakan dan diskenariokan untuk menanggulangi pajanan risk agent kepada penduduk, tetapi belum menemukan solusi. Oleh sebab itu, upaya terakhir adalah dengan mengevakuasi terlebih dahulu penduduk di lokasi studi ke tempat yang aman dan terhindar dari polutan. Karena jika tidak dilakukan hal itu, kemungkinan penduduk untuk menerima risiko kesehatan akibat pajanan risk agent dari semburan lumpur Lapindo lebih besar.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan perhitungan risiko dan kajian terhadap beberapa risk agent di setiap lokasi terkait semburan lumpur Lapindo, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan nilai RQ disetiap lokasi sudah berada diatas 1, kecuali RQ H2S pada pekerja di Desa Renokenongo, Kelurahan Kedungbendo dan Desa Pajarakan ; RQ NH3 pada pekerja di Desa Renokenongo dan Desa Permisan ; RQ TSP pada pekerja di Kelurahan Kedungbendo dan Desa Permisan.

2. Nilai frekuensi RQ persegmentasi populasi jika dirinci disetiap kelurahan atau desa hampir sama, adalah sebagai berikut Anak – anak > Dewasa (ibu rumah tangga) > Pekerja

3. Subpopulasi yang paling berisiko adalah anak - anak, sehingga diperlukan upaya penanggulangan segera mengingat organ tubuhnya masih sangat lemah.

4. Nilai RQ jika diurutkan berdasarkan lokasi adalah sebagai berikut :

§ SO2 (Kelurahan Kedungbendo > Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo > Kelurahan Siring > Desa Permisan > Desa Pajarakan)

§ NO2 (Kelurahan Siring > Desa Renokenongo > Desa Permisan > Kelurahan Jatirejo ≥ Kelurahan Kedungbendo > Desa Pajarakan)

§ H2S (Kelurahan Jatirejo > Kelurahan Siring > Desa Permisan > Kelurahan Kedungbendo ≥ Desa Renokenongo ≥ Desa Pajarakan)

§ NH3 (Desa Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Jatirejo > Kelurahan Kedungbendo > Desa Renokenongo > Desa Permisan)

§ TSP (Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo > Desa Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Kedungbendo > Desa Permisan)

5. Risk agent berdasarkan nilai frekuensi karakteristik risikonya yang paling besar rata – rata disetiap lokasi adalah zat SO2 dan terendah H2S.

6. Seluruh lokasi studi sudah tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal

7. Pengendaliannya adalah dengan memindahkan penduduk ke tempat yang lebih aman dari paparan risk agent karena manajemen risiko yang dilakukan terkait pengurangan konsentrasi dan waktu pajanan (tE dan fE) sudah tidak realistik, atau dapat juga dengan penggunaan masker, namun hanya bersifat sementara.

Agar hasil analisis risiko dapat dilakukan secara maksimal, maka disarankan :

1. Seluruh nilai default untuk perhitungan sebaiknya ditentukan sendiri sesuai dengan karakteristik populasinya

2. Nilai pengukuran risk agent sebaiknya mewakili selama 24 jam

3. Penentuan dosis respon bagi risk agent yang belum diketahui

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdur Rahman selaku dosen Mata Kuliah Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan bimbingan teknis terhadap study Analisis Risiko dan Manajemen Kesehatan Lingkungan Pencemar Udara Akibat Lumpur Lapindo.

DAFTAR RUJUKAN

Rahman, A. (2010). Prinsip – prinsip Dasar dan Metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan : Bahan Ajar Pelatihan Teknis dan Manajemen Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan Bagi Petugas Kesehatan ; Yogyakarta, 14 – 19 Juni 2010., Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Yogyakarta.

IRIS. (2007). Integrated Risk Information System List of Subtance. US Environmental Protection Agency. Retrieved 9 June 2009, from

http://www.epa.gov/iris/subst/index.html

Kolluru, R. V. (1996). Health Risk Assesment: Principles and Practies. In R. V. Kolluru, S. Bartell, R. Pitblado & S. Stricoff (Eds.), Risk Assesment and Management Handbook for Environmental, Health, and Safety Professionals (pp. 4.3-4.68). New York : McGraw-Hill.

Holm, C (2006). Muckraking in Java’s gas fields. Asia Times Online.

Wibisono Yusuf (2006), “Lumpur Lapindo : Akar dan Masalahnya” Blogs Sains in Religion.

Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas, ibid.

CSRIndonesia (2006)., Belajar dari Lumpur Lapindo., www.csrindonesia.com

Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas, ibid.

[1] Wibisono Yusuf (2006), “Lumpur Lapindo : Akar dan Masalahnya” Blogs Sains in Religion.

[2] Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas, ibid.

[3] Holm, C (2006). Muckraking in Java’s gas fields. Asia Times Online.

[4] Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas, ibid.

1 comment:

  1. maaf mau tanya kalau akibat pencemaran air ada ngak ya? tlg donk kalau ada analisis resiko kesehatan lingkungan akibat pencemaran air tlong ya, tlong banget
    by.tia.rahmatiah@yahoo.co.id

    ReplyDelete