Saturday, April 24, 2010

MULTI CRISIS KESEHATAN INDONESIA

MULTI CRISIS KESEHATAN INDONESIA

Setiap orang memiliki hak hidup untuk sehat. Pemberian hak hidup sehat kepada masyarakat harus sejajar dengan kewajibannya dalam berprilaku sehat, seperti menjaga pola hidup bersih (hygene perorangan), menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kebutuhan gizi dan sebagainya. Proses pembentukan masyarakat dalam berperilaku sehat pun perlu dipertanyakan, siapa yang harus bertanggung jawab akan hal itu?. Jika kita memberikan jawaban pemerintah, tentu terlalu mengkambinghitamkan pihak terkait dalam hal ini Departemen Kesehatan yang paling utama. Padahal ribuan dokter, perawat dan bidan bekerja keras melayani orang yang sakit, ribuan rumah sakit, puskesmas dan balai kesehatan melakukan pelayanan kesehatan setap hari, setiap tahun ; jutaan pil dibagikan dan jutaan anak diimunisasi (Balitbang Depkes, 2006). Namun, faktanya yang terjadi masalah kesehatan praktis belum berubah. Hal ini memunculkan pertanyaan yang kedua dalam benak kita, apa dan di sebelah mana yang salah.

Sejak Era Reformasi bergulir di tahun 1998, dunia kesehatan di Indonesia ikut terkena imbasnya. Para ahli kesehatan mulai merumuskan Konsepsi Indonesia Sehat 2010, parameter Indonesia Sehat 2010 dan hal – hal yang ikut menyumbang pengembangan dunia kesehatan Indonesia. Bahkan, di tahun 1974 sebelumnya telah terjadi penemuan bermakna dalam konsep sehat. Sejak tahun 1974 telah terjadi diskusi intensif yang berskala nasional dan internasional tentang karakteristik, konsep dan metoda untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Selama tiga dekade terakhir khususnya setelah terjadi deklarasi Alma Ata, HFA Year-2000 (1976) pertemuan Mexico (’90) dan Saitama (’91), perhatian para ahli kesehatan dan pembuat kebijakan secara bertahap beralih dari orientasi sakit ke orientasi sehat. Perubahan orientasi tersebut antara lain disebabkan oleh karena :

a. Transisi epidemiologi pergeseran angka kesakitan dan kematian yang semula disebabkan oleh penyakit insfeksi ke penyakit kronis degeneratif dan kecelakaan.

b. Perubahan konsep dari cartesian ke holistik filosofi

c. Batasan tentang sehat dari keadaan atau kondisi ke alat / sarana

d. Makin jelasnya pemahaman kita tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan penduduk. Lalonde (1974) dan diperkuat Hendrik L. Bluum (1974) dalam tulisannya secara jelas menyatakan bahwa status kesehatan penduduk bukanlah merupakan hasil pelayanan medis semata – mata, akan tetapi faktor – faktor lain seperti lingkungan, perilaku dan genetika justru lebih menentukan terhadap status kesehatan penduduk.

Sayangnya bahwa perubahan dan pemahaman dan pengetahuan tentang determinan kesehatan tersebut, meskipun jelas – jelas memiliki nilai positif tidak segera diikuti dalam perubahan kebijakan dalam upaya pelayanan kesehatan di Indonesia. Program kesehatan saat ini lebih mengutamakan upaya kuratif, yang dalam jangka panjang makin menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan. Karena berapapun besar biaya yang disediakan akan tetap kurang, oleh karena permintaan akan pelayanan medis-kuratif akan selalu meningkat. Kasus Demam Berdarah Dengue dan Avian Influenza cukuplah untuk dijadikan gambaran, pasien yang datang ke Rumah Sakit terus bertambah, bahkan untuk penderita DBD di RS. Hasan Sadikin Bandung disediakan tenda – tenda perawatan. Upaya kesehatan kuratif khususnya Rumah Sakit akan cenderung berkumpul ditempat yang banyak uang, yaitu di kota – kota besar saja. Upaya kesehatan yang bersifat kuratif tidak akan membawa masyarakat produktif, malah dari segi ekonomi menimbulkan sifat konsumtif tidak produktif, karena masyarakat terus – menerus menanggung biaya pengobatan dan perawatan akibat sakit yang dideritanya, kalaupu pemerintah yang menanggungnya berarti pembengkakan kerugian pada APBN.

Upaya kesehatan yang selama ini dilaksanakan pemerintah masih berorientasi pada upaya penanggulangan penyakit episodik dan upaya penyembuhan. Upaya kesehatan yang demikian seringkali menyesatkan pemikiran kita seolah – olah apabila semua orang yang sakit bisa diobati maka masyarakat menjadi sehat. Padahal apabila seluruh sarana pengobatan yang ada dewasa ini dikerahkan seluruhnya, hanya akan mampu menangani / mengobati sekitar 30 persen dari semua orang sakit yang ingin berobat. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan kebijakan baru menyeluruh, yang lebih berpihak kepada pembangunan kesehatan ditekankan pada upaya promotif-preventif dibanding kuratif-rehabilitatif. Tentunya, perubahan tersebut perlu ditunjang oleh SDM atau tenaga kesehatan yang mampu mengelola dan concren terhadap hal itu, yakni sarjana kesehatan masyarakat (Kesehatan lingkungan, Gizi dsb), sarjana psikologi (sebagai penunjang, red) dsb. Tetapi semua itu tanpa melupakan peranan dokter, perawat, bidan dalam upaya kesehatan yang menekankan pengobatan penyakit adalah sangat penting, karena mereka itu semua merupakan tulang punggung upaya pelayanan medis di Indonesia.

Perubahan dalam hal penanggulangan kesehatan dan tingginya derajat kesehatan masyarakat Indonesia hanya akan terjadi bila diikuti dengan perubahan orientasi para pengambil keputusan, perubahan peraturan perundangan yang mungkn terjadi perubahan pendekatan, pengorganisasian, fasilitas, ketenagaan dan alokasi pembiayaan yang akhir ini menjadi kunci tercapainya perubahan.

No comments:

Post a Comment