Saturday, April 24, 2010

KONSISTENSI PELAKSANAAN INDONESIA SEHAT 2010*)


KONSISTENSI PELAKSANAAN INDONESIA SEHAT 2010*)

#tulisan terdahulu#

Oleh : Prof. Umar Fahmi Ahmadi**)

Masalah kesehatan di Indonesia, amatlah kompleks. Meski kalau merujuk kepada angka angka harapan hidup, angka kematian bayi, terlihat kemajuan disana sini, namun dengan indikator yang sama, kalau dibanding Negara Negara ASEAN lainnya masih peringkat bawah. Beberapa isu strategis masalah kesehatan di Indonesia, dapat di kemukakan misalnya, masalah disparitas derajat kesehatan antara wilayah barat dan timur, antara kaya dan miskin, desa kota dlsbnya. Secara geografis negara ini juga amat luas, terdiri dari ribuan pulau dan pulau pulau kecil yang sebagian besar, hanya bisa dijangkau pada waktu dan musim tertentu saja. Akibat kondisi geografis dan adanya kesulitan hubungan antar wilayah ini, maka kita mengenal keberagaman masalah dan timbulnya masalah masalah spesifik lokal, yang harus di antisipasi dalam setiap pembangunan kesehatan. (Ahmadi, 2004).

Sementara itu dalam waktu dekat intensitas globalisasi, diperkirakan meningkat. Bangsa dan negara Indonesia memiliki komitmen terhadap adanya pasar bebas ASEAN pada tahun 2003 dan Asia Pasifik pada tahun 2020. Globalisasi memiliki makna kebebasan perdagangan dan investasi. Dengan adanya globalisasi dan kebijakan otonomi dilain pihak, maka arus barang, jasa dan investasi diperkirakan tersebar diberbagai wilayah di luar Jawa – Bali dan Sumatra. Diperkirakan akan timbul Pusat pusat pertumbuhan disekitar Riau, Manado, Sorong, Makasar, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan dll. Ekonomi regional, tak akan mampu bersaing tanpa dukungan kualitas sumberdaya manusia. Derajat kesehatan penduduk khususnya wilayah wilayah pertumbuhan, merupakan salah satu pilar utama persaingan bebas dikawasan global.

Dengan adanya intensitas pergerakan arus barang, modal dan jasa, mobilitas penduduk juga semakin meningkat, dan potensi persebaran penyakitpun semakin meningkat. Wilayah di Indonesia menjadi semakin rawan ”Kejadian Luar Biasa” atau KLB/ wabah penyakit yang datang dari berbagai wilayah termasuk dari luar negeri, seperti halnya polio dan avian influenza akhir akhir ini. Oleh sebab itu administrator

*). Disampaikan pada Simposium Indonesia Sehat 2010, Forum Komunikasi Politeknik Kesehatan Indonesia, Bandung 7 Agustus 2005.

**) Penulis adalah salah satu penyusun konsep awal Indonesia Sehat 2010, dipimpin oleh Menteri Kesehatan FA Moeloek (1998 – 2000)

pembangunan kesehatan, yakni kabupaten dan kota harus memiliki kemampuan dan infrastruktur yang memadai, khususnya wilayah disekitar pusat pusat pertumbuhan.

Indonesia Sehat (IS) 2010 sebagai konsep pada dasarnya dirancang untuk menghadapi adanya berbagai isu strategis tersebut diatas. Namun dengan perkembangan waktu khususnya dengan adanya berbagai kejadian masalah kesehatan aktual akhir akhir ini, menjadi pertanyaan, apakah IS 2010 masih relevan? Atau sebaliknya, apakah kejadian aktual akhir akhir ini adalah ”evidences” bahwa Pemerintah Otonom Kabupaten atau Kota tidak melaksanakan Kabupaten Sehat 2010? Tulisan ini mencoba mengemukakan beberapa contoh aktual kesehatan, dilihat dan dianalisis dalam perspektif Indonesia Sehat (IS) 2010. Beberapa ”cross cutting issues” dikemukakan, meski masih banyak isu pokok lain yang mungkin masih ada, namun karena keterbatasan tidak dikemukakan..

INDONESIA SEHAT 2010

Pada hakekatnya IS 2010 adalah sebuah konsep pembangunan kesehatan, yang lebih memiliki spirit preventif dan promotif, namun tidak mengabaikan spirit kuratif dan rehabilitatif yang harus dilakukan secara berkualitas, adil dan merata. Indonesia Sehat 2010 yang disusun pada tahun 1998/99, adalah sebuah acuan, dan masih harus dijabarkan serta disosialisasikan secara luas keseluruh wilayah administrasi pembangunan, yakni kabupaten dan wilayah kota. Dalam kurun waktu 8 tahun Pemerintahan silih berganti, sistim ketata negara an juga masih terus berbenah diri. Dengan adanya pergantian Pemerintahan, pada tahun 2000, IS 2010 kemudian dijadikan acuan penyusunan Program Pembangunan Nasional (propenas) dan kemudian (diharapkan pada waktu itu) menjadi acuan penyusunan Propeda. Dalam propenas disusun, garis besar arahan pembangunan kesehatan, dengan sasaran sasaran nasional yang dituangkan kedalam Standard Pelayanan Minimal yang harus dicapai oleh masing masing pemerintah otonom, sesuai dengan kemampuan Kabupaten dan Kota, dalam siklus 5 tahunan. Seperti kita ketahui Propeda hendak di aktualisasikan kedalam propeta, atau program tahunan yang harus dilaksanakan secara otonom.

Dalam dokumen awalnya, Indonesia Sehat 2010 secara lengkap memiliki visi misi, strategi, kebijakan, serta upaya upaya yang hendaknya dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat Kabupaten dan Kota.

Visi Indonesia Sehat 2010 adalah : Sebuah Gambaran Masa Depan yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan memiliki perilaku hidup sehat, serta kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil, merata, sehingga akan memiliki derajat kesehatan setinggi tingginya.

Dalam konteks otonomi, Visi Indonesia Sehat 2010, kemudian hendaknya di adopsi menjadi visi Kabupaten Sehat 2010, atau Kota Sehat 2010. Kabupaten dan Kota adalah satuan wilayah pembangunan yang memiliki kewenangan membangun warga penduduk didalamnya. Indonesia Sehat 2010 tentu merupakan hasil penjumlahan dari seluruh Kota dan Kabupaten Sehat 2010.

Dalam aktualisasinya tiap kabupaten dan kota tidaklah memiliki kondisi awal derajat atau kondisi kesehatan penduduk (start) yang sama (mengingat adanya kesenjangan dan ke aneka ragaman tersebut diatas), serta tidak perlu memiliki keseragaman prioritas masalah kesehatan. Kondisi Kesehatan awal/start ( tahun 2000 ) Kabupaten Ciamis tidaklah sama, serta lain permasalahannya dibanding kabupaten Banjarnegara, ataupun Kotawaringin di Kalimantan. Namun indikator start atau baseline, hendaknya sama sama mengacu kepada 3 “grand variables” visi Kabupaten/Kota Sehat tersebut, yakni : (1). lingkungan yang sehat, (2). perilaku hidup sehat, dan (3). aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan, secara adil merata dan berkualitas.

Setiap kabupaten memiliki problem lingkungan khas dan prioritas sendiri sendiri, memiliki masalah perilaku hidup sehat spesifik lokal, memiliki geografis yang menentukan determinan kesehatan seperti lingkungan, perilaku sehat penduduknya dan sekaligus keterjangkauan pelayanan kesehatan (pelayanan medik sebuah kabupaten di daerah Maluku beda dengan daerah Jawa). Yang terpenting tiga determinan tersebut dioperasionalisasikan kedalam angka angka atau sasaran sasaran pencapaian ( dan sekaligus monitoring pencapaiannya). Misalnya tahun 2004 80% penduduk Ternate akses air bersih, sedangkan Pemerintah Soppeng boleh saja mentargetkan 90% masyarakatnya akses air bersih pada tahun 2004. Demikian pula dengan perumahan sehat, penggunaan obat generik, jumlah penduduk yang terjamin sistim pembiayaan kesehatan (jaminan pemeliharaan kesehatan) atau jpk, jangkauan dan cakupan imunisasi, pelayanan kesehatan dan lain sebagainya. Sekali lagi setiap wilayah kabupaten atau kota memiliki angka sasaran dan jenis sasaran berbeda satu sama lain, yang harus dicapai secara berkesinambungan dan bertahap. Oleh sebab itu, Kabupaten Sehat 2010, tidak perlu menjadi Kabupaten Sehat 2009 dstnya. Indonesia Sehat 2010 adalah ”trade name”, atau logo dari sebuah pendekatan pembangunan. Bukan sebuah ”balapan” atau kompetisi.

Perlu digaris bawahi bahwa dalam menetapkan sasaran sasaran harus menggunakan pendekatan baru, yakni harus ditetapkan secara bersama dengan seluruh “stake holders” kota atau kabupaten tersebut, misalnya DPRD, LSM setempat, organisasi profesi lintas sektor, dan tentu saja Dinas Kesehatan.

Ada 4 pilar strategi untuk pencapaian visi Indonesia Sehat 2010, yang berarti juga harus di adopsi oleh masing masing Kabupaten dan Kota (menjadi visi Kabupaten dan visi Kota), yakni.

a. Pembangunan Berwawasan Kesehatan.

b. Profesionalisme

c. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

d. Desentralisasi/Otonomi

a. Pembangunan Berwawasan Kesehatan.

Pembangunan berwawasan kesehatan adalah perencanaan dan sekaligus pelaksanaan ( termasuk monitoring didalamnya) pembangunan yang memasukkan pertimbangan dampak kesehatan ( baik positif maupun negatif). Dampak yang dimaksud adalah baik terhadap perilaku penduduk, lingkungan hidup maupun accessibilitas terhadap pelayanan kesehatan-yang pada akhirnya derajat kesehatan penduduk seperti tercermin dalam angka – indikator.

Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota bersama seluruh warga penduduknya ( DPRD) serta LSM harus secara proaktif melakukan telaah aspek kesehatan atau memberikan pertimbangan diminta atau tidak diminta, secara formal maupun informal-Lobby, terhadap sebuah prakarsa pembangunan diwilayahnya.

Contoh : kebijakan meningkatkan pemerataan pendidikan dan sosial ekonomi akan berdampak positif baik terhadap perilaku hidup sehat maupun pelayanan kesehatan. Pembangunan jalur transportasi akan mempercepat aksesibilitas pelayanan medik (misalnya menurunkan angka kematian ibu ). Sebaliknya penggunaan agrokimia secara berlebihan memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan bahan pangan dan akan berdampak jangka panjang terhadap kesehatan reproduksi penduduknya.

b. Profesionalisme.

Perencanaan dan pelaksanaan hendaknya didukung oleh sumberdaya manusia yang profesional. Dengan demikian upaya upaya meningkatkan profesionalsme yang memamahami permasalahan wilayahnya amat dibutuhkan. Diharapkan sumberdaya manusia kesehatan dalam setiap wilayah profesional dalam bidangnya. Hal ini amat penting karena dengan desentralisasi pada jaman globalisasi, di prediksi akan terjadi akselerasi internasionalisasi setiap wilayah kabupaten/kota.

c. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Sistim Pembiayaan Kesehatan berupa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagai satu pendekatan untuk mobilisasi sumberdaya (khususnya biaya). Untuk mendukung pembangunan bidang kesehatan, setiap wilayah secara merata harus memiliki sistim pembiayaan kesehatan, untuk menjamin pemerataan baik bidang kesehatan lingkungan, kesehatan perilaku apalagi pelayanan kesehatan. Dewasa ini sedang disusun sebuah sistim pembiayaan kesehatan secara nasional (JKN).

d. Otonomi.

Dilaksanakan ( Pelaksanaan dari pembangunan kesehatan tsb dilakukan) secara ter-desentralisasi atau pelaksanaan otonomi pembangunan bidang kesehatan. Setiap satuan wilayah pembangunan ( misal kabupaten) memiliki prioritas, masalah khas ( local specifity), dengan sumberdaya yang dimilikinya.

Misi dalam Indonesia Sehat 2010

Dalam konsep IS 2010 terdapat misi Peran Pembangunan Bidang Kesehatan dalam mencapai visi yang diidamkan. Misi yang tertera dalam konsep IS 2010 hendaknya diaktualisasikan kedalam misi Kota Sehat 2010 dan Kabupaten Sehat 2010. Misi yang tercantum disana hendaknya merefleksikan peran atau tugas Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota.

Disetiap kabupaten atau Kota, untuk mencapai visi Kabupaten Sehat 2010 dan Kota Sehat 2010 bagi warga penduduknya, Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten harus berperan (baca : misi) sebagai

a. Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan.

b. Pendorong Kemandirian Masyarakat untuk Hidup Sehat

c. Pemelihara dan meningkatkan pelayanan Kesehatan

d. Pemelihara dan meningkatkan kesehatan individu

Pembangunan berwawasan kesehatan perlu digerakkan, oleh karena pembangunan yang merupakan determinan utama atau faktor penentu derajat kesehatan penduduk merupakan tanggung jawab dari semua sektor pembangunan. Yang memahami bidang kesehatan adalah para profesional bidang kesehatan. Agar pelaku pembangunan seluruhnya memperhatikan serta melaksanakan hal ini, maka harus digerakkan.

Kesehatan juga merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Bahkan pemerintah sedapat mungkin hanya berperan sebagai penggerak dan pemberi kemudahan ( fasilitator), yang lebih aktif adalah masyarakat, termasuk sektor swasta.

Pokok Program Rencana Pembangunan

Bidang Kesehatan (RPBK) IS 2010 .

Dalam konsep awal IS 2010, selain Visi dan Misi juga terdapat 7 pokok program dan 40 sub pokok program dalam mana setiap kabupaten diharapkan dapat memilih prioritas masing masing daerah yang kemudian hendaknya dijabarkan kedalam Program Pembangunan Daerah atau Renstra-Da dengan sasaran sasaran yang telah dituangkan dalam KW atau Kewenangan Wajib dan Standard Pelayanan Minimal.

Tujuh pokok program (PP) yang kemudian pada tahun 2000 menjadi Program Pembangunan Nasional (Propenas) adalah :

a. Pokok Program ( PP) Perilaku, pemberdayaan dan Kemandirian masyarakat untuk hidup sehat

b. Pokok Program (PP) Lingkungan Sehat

c. PP Upaya Upaya Kesehatan ( didalamnya termasuk Program Pengendalian Penyakit )

d. PP Pengawasan Obat, Makanan dan Bahan Berbahaya

e. PP Pengembangan Sumberdaya Kesehatan

f. PP Pembangunan Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan

g. PP Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kesehatan

Masing masing pokok program diuraikan secara lebih detil kedalam subpokok program. Didalam RPBK ada 40 subpokok program yang lebih merupakan “menu” pembangunan bidang kesehatan ( boleh memilih). Misalnya Pokok Program Lingkungan Sehat : perumahan sehat, atau tempat tempat umum. Untuk tempat umum kemudian dapat memilih apakah bangunan sekolah atau taman rekreasi. Sub-pokok program pada dasarnya sebuah “menu” prioritas. Masing masing kabupaten atau Kota akan memilih menu tersebut sesuai prioritas sendiri sendiri. Dari 40 subpokok program juga dapat menambah diluar daftar yang ada asalkan sesuai dengan data fakta yang ada.

Indonesia Sehat 2010 masih relevan?

Untuk menilai apakah konsep Indonesia Sehat masih relevan atau tidak, serta apakah Pemerintah otonom sudah melaksanakan konsep IS 2010 atau tidak, maka dapat mencoba mencermati beberapa kejadian aktual kesehatan akhir akhir ini kemudian mencoba melakukan analisis dari sudut pandang konsep IS 2010. Beberapa isu aktual antara lain,

1. Indeks Perkembangan Manusia atau HDI

2. Kejadian Luar Biasa (”wabah”)

3. Pelayanan kesehatan garis depan

Indeks Perkembangan Manusia Indonesia

(Human Development Index)

Secara umum, kualitas sumber daya manusia Indonesia terefleksikan dalam Indeks Perkembangan Manusia (IPM) atau Human Development Index. UNDP pada tahun 2003 melaporkan HDI Indonesia berada pada peringkat 112 dari 175 negara. Sedangkan pada tahun 2004 ada sedikit kenaikan menjadi urutan ke 111. Sementara itu, Singapore berada pada urutan 28, Malaysia 58, Philippines 58 dan Vietnam 109. Kalau saja Indonesia di antara sederet Negara Negara didunia menempati urutan diatas 100, maka apabila ada anekdote bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia tidak bisa bersaing dengan kualitas tenaga kerja (dalam perspektif kesehatan) negara lain ada benarnya.

Pembangunan bidang kesehatan pada akhirnya akan tercermin pada Human Development Index-HDI. HDI terdiri dari komponen tingkat pendidikan, ekonomi dan derajat kesehatan). Oleh sebab itu, sebagai salah satu pilar pokok dari HDI, “kesehatan” harus selalu berada pada “mainstream” pembangunan.

Pembangunan Kualitas Sumber Daya manusia yang tercermin dalam HDI, memerlukan pendekatan pendekatan sosio-kultural sekaligus geografis. Masyarakat pantai, masyarakat kepulauan, memerlukan pendekatan yang berbeda dengan masyarakat pedalaman atau pegunungan, pulau pulau kecil dan terpencil. Kreatifitas pembangunan yang ditandai oleh keaneka ragaman dalam bingkai kesatuan-universalitas menjadi perlu.

Dengan acuan visi Indonesia Sehat, yakni masyarakat Indonesia (dimanapun berada) harus hidup dalam lingkungan yang sehat, memiliki perilaku hidup sehat dan akses kepada pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka HDI akan dapat ditingkatkan. Mengapa harus membangun kios pertokoan mewah, kalau aksesibilitas air bersih masih belum mencukupi? Membuka keterisolasian membantu menurunkan angka kematian ibu. Membuat sistim pelayanan kesehatan gugus pulau, membantu meningkatkan akses pelayanan. Dlsbnya. Apakah pemerintah kabupaten telah mengacu kepada visi Indonesia Sehat yang seharusnya menjadi acuan Kabupaten Sehat 2010?

Berikut adalah beberapa contoh permasalahan aktual, berkenaan dengan Human Development Index atau Indeks Perkembangan Manusia.

Sanitasi dasar

Sanitasi dasar merupakan salah satu bentuk operasional dari salah satu visi Indonesia Sehat 2010. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, jamban keluarga, serta sarana rumah sehat yang memadai. Aksesibilitas masyarakat miskin terhadap air bersih amat rendah. Demikian pula terhadap jamban. Banyak keluarga baik perkotaan maupun pedesaan tidak memiliki jamban keluarga. Dari data yang ada menunjukkan bahwa rata rata nasional, penduduk yang akses terhadap sarana air bersih pada tahun 2002, hanya 72.3% sedangkan yang memiliki jamban keluarga hanya 63.85% (Ditjen PPMPL 2003)

Sanitasi dasar merupakan penyebab penyakit penyakit infeksi baik akut seperti cholera, hepatitis A, maupun khronik seperti disentri, infeksi bakteri Coli, bahkan polio, maupun penyakit infeksi khronik lainnya. Setiap bulan absentiisme para tenaga kerja dan anak sekolah amat tinggi karena aksesibilitas terhadap air bersih yang masih rendah. Apabila seseorang menderita diare khronik jelas akan mengganggu seseorang untuk bekerja, dan belajar disekolah. Demikian pula batuk pilek khronik. Akibat ventilasi atau kondisi perumahan yang buruk. Penderita gizi buruk dan kecacingan tidak bisa bekerja dengan baik. Penyakit khronik yang berkaitan dengan sanitasi dasar yang buruk, merupakan kontributor terhadap tingginya absentiisme dan lebih lanjut penurunan produktivitas, serta kualitas sumberdaya manusia.

Kecacingan merupakan masalah khas kesehatan berkenaan dengan masalah lingkungan sehat, penyediaan air bersih dan sanitasi dasar. Pasokan makanan yang dibeli dengan susah payah, bahkan seringkali tidak mencukupi, masih digeogoti oleh berbagai penyakit menular dan kecacingan.

Penyakit kecacingan merupakan penyakit yang endemik di Indonesia. Berbagai macam kecacingan, mulai dari cacing tambang, cacing gelang hingga cysticercosis. Kecacingan dapat menyebabkan anak anak sekolah menderita anemia, dan mengganggu proses belajar anak anak, serta mengganggu tenaga kerja mengalami kekurangan gizi relatif, karena makanan yang dimakan akan di ”makan” oleh parasit cacing serta mikroba lainnya. Masalah lain yang dihadapi angkatan kerja baik yang bekerja, setengah bekerja ataupun tidak bekerja, adalah kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat berupa kekurangan kalori untuk tenaga maupun zat mikronutrient lainnya, akibat ketidak mengertian serta kemiskinan.

Proyek proyek peningkatan aksesibilitas sanitasi dasar atau ”sanitasi dasar untuk semua”, harus menjadi prioritas utama pembangunan kesehatan setiap kabupaten dan kota. Seberapa jauh, masalah sanitasi dasar merupakan komitmen pak Walikota ataupun pak Bupati? Seberapa jauh menjadi salah satu isu pilkada? Sekalilagi, tidak ada audit apakah sudah dilaksanakan atau belum. Indonesia Sehat sebagai konsep, masih memiliki relevansi, namun apakah telah digunakan sebagai acuan pembangunan kesehatan dimasing masing wilayah, masih dipertanyakan.

Penyakit endemik yang

mengganggu Indeks Perkembangan

Manusia (IPM).

Malaria

Hingga kini, malaria masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Rata rata kasus malaria diperkirakan sebesar 15 juta kasus klinis pertahun (Ahmadi, 2003). Sekitar 60% dari angka ini adalah angkatan kerja. Penduduk yang terkena malaria umumnya adalah penduduk yang tinggal didaerah endemik malaria . Diperkirakan 85,1 juta penduduk tinggal didaerah endemic rendah, sedang hingga tinggi. Dari jumlah sebesar ini adalah termasuk angkatan kerja yang berjumlah 105,8 juta penduduk. Dan tentu saja anak anak balita dan usia sekolah, serta ibu hamil. Hal ini terlihat dari umur kelompok yang terkena atau menderita malaria.

Parasit malaria akan menyerang dan berkembang biak dalam butir darah merah, sehingga menyebabkan seseorang yang terkena malaria menderita demam dan anemia sedang hingga berat. Anemia atau kekurangan hemoglobin, dapat mengganggu sistim ketahanan tubuh serta stamina masyarakat termasuk tenaga kerja. Seseorang yang menderita anemia akan memiliki stamina yang rendah, loyo dan cepat lelah, dan tentu saja tidak produktif. Anak anak yang menderita anemia tentu mengalami kesulitan belajar. Apabila menyerang ibu hamil akan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah, prematur dan kelak kemudian akan menghasilkan sumberdaya manusia yang kurang ber kualitas baik dari segi kesehatan maupun intelegensia.

Malaria juga menyebabkan menurunnya kecerdasan, sehingga amat mengganggu kualitas sumberdaya manusia dalam perspektif variabel pendidikan. Malaria juga mampu menurunkan imunitas atau kekebalan seseorang atau kelompok masyarakat, sehingga memudahkan kelompok masyarakat terkena penyakit menular lain seperti radang paru khronik, campak, diare dll

Hubungan antara malaria dan kemiskinan sangat erat. Pertanyaannya adalah apakah malaria menganggu produktivitas dan kemiskinan secara tidak langsung atau kemiskinan itu sendiri menyebabkan malaria. Hubungan antara malaria dan kemiskinan bersifat timbal balik seperti sebuah lingkaran setan. Penduduk miskin, yang tidak memiliki sarana jamban dan air bersih, harus menuruni dan naik tebing untuk mengambil air pada sumber air bersih (mata air). Di beberapa wilayah, pegunungan penularan malaria terjadi di sekitar tempat pengambilan (mata) air. Penularan malaria memang beragam dan spesifik lokal. Sebagian penularan terjadi ketika menunggu kebun, sebagian di rumah, tergantung jenis nyamuk yang memiliki habitat sendiri sendiri. Di Indonesia memiliki 80 spesies nyamuk penular malaria. Nelayan tertular malaria, ketika mempersiapkan perahu dipagi buta, akibat gigitan nyamuk pantai, dan tidak bisa melaut hingga jauh menangkap ikan besar. Keluarga petani miskin tidak mampu membeli kelambu, untuk menangkal serangan malaria, menjadi jatuh lebih miskin lagi, karena terserang malaria. Dstnya.

Indonesia Sehat 2010, mengajarkan aksesibilitas terhadap pelayanan secara adil dan merata. Tentu saja aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan malaria. Menghadirkan klinik spesialis atau rumah sakit keseluruh pelosok tentu mahal dan tidak efekif. Oleh sebab itu konsep pendirian Posmaldes-Pos Malaria Desa dan sekaligus pengangkatan jurumalaria desa, penyediaan obat obat malaria hingga penyediaan air bersih, amat efektif untuk menurunkan angka malaria dan sekaligus meningkatkan kualitas sdm dan memberantas kemiskinan. Penyediaan air bersih, agar penduduk tidak perlu menuruni tebing terjal dan mendapat penularan malaria ketika mengambil air bersih tersebut, membantu mencegah timbulnya kejadian penyakit malaria sekaligus mencegah diare. Masalahnya sampai dimana penyediaan air bersih penduduk pedesaan menjadi perhatian anggota DPRD dan Bupati, sehingga penduduk tidak perlu mencari air dipagi buta dan terkena risiko malaria? Jurumalaria desa amat efektif misalnya di Ternate, tapi seberapa jauh komitmen Walikota, DPRD membantu anggaran operasional untuk merekrut tenaga jurumalaria desa? Untuk pelatihan?

Hingga kini masih banyak kabupaten yang, selain tidak memiliki infrastruktur jurumalaria desa dll, juga kurang memahami strategi penanggulangan malaria semacam ini. Indonesia amat luas, sistim pemerintahan hanya membolehkan pemerintah pusat berhubungan melalui propinsi. Informasi berapa kabupaten yang memiliki posmaldes, dan yang tidak tidak pernah terlaporkan. Audit IS 2010 belum pernah ada.

Tuberkulosis.

Masalah kesehatan masyarakat lain yang sering dialami oleh penduduk, khususnya penduduk miskin baik diperkotaan maupun pedesaan adalah tuberkulosis. Kelompok yang terkena risiko penyakit tbc selain usia produktif, juga golongan ekonomi lemah. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, menyerang dan mengerogoti paru paru sehingga luka dan paru paru tidak dapat berfungsi dengan baik. Penularan dapat terjadi di mana saja, dikeramaian, ruang tertutup, lembab, di tempat tempat umum, tempat kerja dlsbnya. Selain masalah stigma, juga secara kolektif akan menjadi beban wilayah dari sisi produktivitas.

Penderita tbc akan mengalami penurunan penghasilan 20 – 30% (annual house hold income), kinerja dan produktivitas rendah, pilihan kerja terbatas dan akan membebani keluarga. Dibidang pendidikan dan pekerjaan juga kehilangan peluang.

Sampai tahun 2003 pengembangan program tbc dengan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh propinsi, 98% kabupaten kota, 97% puskesmas serta seluruh BP4 RSTP. Sedangkan di Rumah Sakit baru 20%. Meski insidensi tbc telah menurun dari 130/100.000 dan saat ini menjadi 110 per 100.000 (Tim Surkesnas 2005). Dengan kata lain meski cakupan dari tahun ketahun juga terlihat meningkat kalau tahun 2002 29% terobati tahun 2003 41.6%, namun penyakit tbc masih menjadi ancaman khususnya anak anak dan usia produktif di Indonesia.

Pelayanan Kesehatan baik itu preventif maupun kuratif dapat mengacu kepada, salah satu visi IS 2010, yakni aksesibilitas terhadap pelayanan, serta pokok program upaya kesehatan. Untuk menjamin aksesibilitas secara adil merata, Pemerintah Pusat hendaknya menjamin penyediaan obat2n tbc secara gratis, dan dan pemerintah kabupaten bersama masyarakat hendaknya menyiapkan petugas lapangan yang bisa bergerak secara pro aktif mencari dan mengobati kasus kasus tbc. Pengadaan petugas lapangan dapat di satukan dengan upaya upaya pemberantasan penyakit yang mengancam IPM lainnya seperti kusta, kecacingan, diare dlsbnya. Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota dapat membantu biaya biaya pelatihan para juru kusta, juru pengobatan tbc dlsbnya.

Tuberkulosis juga diperburuk dengan kondisi sanitasi perumahan yang buruk khususnya penduduk miskin. Rumah tanpa ventilasi dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi lembab, pengap yang akan memperpanjang masa ”viabilitas” atau daya tahan hidup kuman tbc dalam lingkungan, yang pada akhirnya akan menyebabkan potensi penularan tbc menjadi lebih besar. Masalah tbc juga masalah lingkungan sehat, salah satu visi Indonesia Sehat 2010.

Penyakit menular lain seperti frambusia, Kusta, filariasis (kaki gajah), demam berdarah, ISPA pada balita dll yang juga endemik diberbagai wilayah di Indonesia. Penyakit menular ini terutama yang diderita secara khronik amat mengganggu Indeks Perkembangan Manusia dan memiliki relevansi tinggi dengan konsep Indonesia Sehat 2010.

HIV AIDS.

Dari angka angka yang ada (lihat grafik), trend perkembangan penyakit HIV AIDS merupakan ancaman serius bagi penduduk Indonesia. Lebih dari 90% penyakit HIV AIDS menyerang kelompok usia produktif. Selain menjadi beban penderita, keluarga juga merasakan beban yang diderita keluarganya.

Dari gambaran angka angka kumulatif penderita HIV AIDS semakin hari semakin meningkat. Moda penularan yang semula melalui hubungan seksual, kini bergeser melalui jarum suntik pecandu narkoba. Jumlah pecandu NAPZA suntik semakin hari juga menunjukkan peningkatan. Melalui moda tukar menukar jarum suntik, penularan lebih mudah terjadi. Oleh sebab itu selain upaya pencegahan terhadap penyakit HIV AIDS, memerangi Narkoba juga merupakan upaya untuk menekan angka HIV AIDS ini.

Penyakit ini belum ada obat serta vaksin yang dapat mencegahnya secara efektif. Obat obat an yang ada hanya mampu menekan jumlah virus didalam tubuhnya, agar penderita dapat memiliki kualitas hidup lebih baik. Obat obat ini harus dikonsumsi seumur hidup, sehingga akan menjadi beban penderita, keluarga dan wilayah setempat. Masalah HIV AIDS dalam konteks IS 2010 adalah masalah aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan berupa obat obat retroviral secara gratis, serta masalah perialaku hidup sehat, khususnya perilaku seks dan penyalah gunaan narkoba.

KLB – Kejadian Luar Biasa (wabah)

Dalam perspektif Indonesia Sehat 2010.

Dalam waktu tiga bulan terakhir terjadi KLB Polio dan Avian Influenza atau flu burung. Pada awal tahun 2003 juga terjadi KLB SARS dan Avian Influenza.

Adanya avian flu, SARS dan polio, merupakan contoh yang jelas, bahwa infrastruktur kesehatan ditingkat Kota dan Kabupaten tidak siap menghadapi ancaman dampak buruk globalisasi.

Pendekatan pembangunan yang semula sentralistik, menjadikan semua tergantung pusat kini berubah menjadi otonom (terdesentralisasi). Dalam hal ini diperlukan ”perombakan sistim”, Dengan kata lain, sistim lama di hapus, sistim baru sedang dibangun, sementara ancaman KLB terus berjalan. Kabupaten dan Kota harus mandiri mengurus kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya termasuk antisipasi timbulnya wabah dan respons cepat. Dengan kata lain, sistim lama telah dicabut sistim baru belum terbentuk. Sistim lama (yakni tergantung pusat) hendaknya diganti dengan sistim baru, yakni kemandirian (sampai tahap tertentu) dalam menghadapi bencana atau wabah merupakan kewajiban setiap Pemerintah dan masyarakat Kabupaten dan Kota. Sebenarnya dalam IS 2010, desentralisasi adalah salah satu dari 4 strategi IS 2010. Salah satu kelemahan IS 2010 adalah tidak secara eksplisit menyatakan perlunya sistim kesehatan, khususnya menghadapi KLB. Mungkin hal ini dianggap merupakan konsekwensi dan kewajiban pelaksanaan dari IS 2010.

Indonesia tidak bisa menghindari globalisasi. Salah satu dampak globalisasi adalah meningkatnya dinamika mobilitas manusia. Anti tesis globalisasi adalah isolasi dan akhirnya kemiskinan juga. Kenapa terjadi KLB polio? Seperti kita ketahui KLB polio yang merebak diwilayah Sukabumi dan Lebak yang merebak akhir akhir ini, virus penyebabnya berasal dari Sudan, Timur tengah. KLB disebabkan karena adanya daerah yang memiliki wilayah lemah (bolong bolong-pelayanan tidak merata), yakni wilayah dengan cakupan imunisasi polio rendah. Wilayah ini dalam perspektif ”herd immunity” atau ketahanan kelompok terhadap penyakit khususnya polio, amat lemah, maka ketika datang virus Luar Negeri masuk, maka terjadilah KLB polio.

Wilayah yang lemah bermakna atau menunjukkan bahwa pemerataan aksesibilitas pelayanan (yang merupakan salah satu visi Kabupaten Sukabumi Sehat 2010) yang tidak terlaksana. Adanya infrastruktur yang lemah, khususnya pelayanan akar padi, karena komitmen terhadap pelayanan yang rendah, dan tidak adanya penyusunan skala prioritas. Namun diatas itu semua, pengamatan secara umum pemahaman Kabupaten dan Kota terhadap IS 2010 masih rendah. Dengan kata lain, adanya KLB karena IS 2010 sebagai konsep tidak dilaksanakan dengan baik.

Pelaksanaan konsep IS 2010, juga memerlukan pembangunan infrastruktur, dan pembangunan sistim, khususnya sistim penanggulangan wabah atau KLB.

Adanya KLB juga karena ketiadaan sistim respons yang handal. Apakah dalam IS 2010 mengakomodir adanya sistim respons cepat terhadap masalah berkenaan dengan bencana dan KLB ?

Dalam IS 2010 mengenal dengan upaya upaya survailans faktor risiko kesehatan. Faktor risiko kesehatan merupakan penjabaran dari Visi Indonesia Sehat, yakni perilaku hidup sehat, peyanan yang adil dan merata, serta kondisi lingkungan yang sehat. Monitoring faktor risiko kesehatan, akan mampu mengetahui potensi KLB secara dini, dan tentu diikuti dengan pengendalian faktor risiko agar tidak terjadi KLB atau bencana.

Dalam sistim Kewaspadaan Dini dan Respons Cepat, kita mengenal adanya infrastruktur laboratorium yang kewenangan survailans nya harus bersifat lintas wilayah batas. Dengan kata lain diperlukan pembangunan sistim kewaspadaan dini dan respons cepat diseluruh wilayah, apalagi dengan adanya globalisasi dan kabupaten hendaknya menyediakan anggaran cukup untuk mengembangkan subsistim diwilayahnya.

Dengan kata lain, IS 2010 (Kabupaten /Kota Sehat 2010) relevan dengan adanya issue KLB yang merebak akhir akhir ini, atau dengan kata lain juga kalau setiap kabupaten melaksanakan mencoba mencapai visi Indonesia Sehat 2010, KLB dapat di minimalisir bahkan bisa di prediksi.

Kesimpulannya, IS2010 masih relevan dengan berbagai isu aktual baik hal hal yang bersifat akut maupun yang khronik yang mengganggu IPM. Namun demikian salah satu kelemahan IS 2010 adalah, tidak memuat bagaimana meng implementasikan IS 2010 tsb dalam setting kabupaten dan kota, serta kurang menekankan perlunya infrastruktur, khususnya untuk menghadapi KLB. Dengan kata lain, IS 2010 bisa saja dikembangkan, disesuaikan dengan perkembangan kondisi.

”Cross Cutting Issues”

Dari uraian dan beberapa contoh aktual tersebut diatas, dapat dikemukanan banyak isu pokok yang harus dilihat dan ditelaah kembali, dan satu sama lain berhubungan. Namun dibawah ini dicoba dikemukakan beberapa issue yang merupakan ”cross cutting issues” kaitannya dengan IS 2010 dan pelaksanaannya..

Sosialisasi, Pemahaman, dan Komitmen

Terhadap Pelaksanaan IS 2010

Kendala utama pelaksanaan IS 2010, adalah pemahaman terhadap konsep IS 2010 itu sendiri. Apabila dikalangan birokrasi kesehatan pada semua jenjang pengambilan keputusan masih kurang memahami, bagaimana dengan birokrasi mitra kesehatan lainnya? Bagaimana dengan masyarakat?

Seberapa jauh konsep Indonesia Sehat 2010 dijadikan rujukan bagi penyusunan Renstra Departemen ditingkat Pusat dan pembangunan di Kabupaten atau dijadikan Kabupaten Sehat 2010? Seberapa jauh birokrasi Pemerintah Pusat yang sekarang memahami dan masih memiliki komitmen terhadap IS 2010? Seberapa jauh secara konsisten melakukan sosialisasi pemahaman IS 2010? Seberapa jauh Pemerintah Pusat melakukan monitoring terhadap pelaksanaan standard pelayanan minimal yang merupakan penjabaran IS 2010?

Audit Pelaksanaan Kabupaten Sehat 2010 dan

Kota Sehat 2010.

Untuk mengetahui apakah semua jenjang birokrasi kesehatan masih memiliki “committment” terhadap konsep IS 2010, diperlukan evaluasi atau audit terhadap pemahaman dan pelaksanaan IS 2010. Evaluasi dapat dilakukan baik kepada visi, misi, strategi, program program maupun sasaran sasaran yang terlihat dalam Renstra. Pencapaian sasaran atau pencapaian kewenangan wajib dapat dinilai sebagai pokok penilaian audit pelaksanaan IS 2010.

Kedudukan Indonesia Sehat 2010 dalam

Renstra Departemen Kesehatan 2004 – 2009

Indonesia Sehat 2010 sebagai konsep, dapat dirujuk seutuhnya atau sebagian dengan sedikit modifikasi, sangat tergantung kepada pemahaman dan keyakinan birokrasi yang ”bertugas” menyusun Renstra pada saat itu, serta kebutuhan sesuai dengan perkembangan situasi. Merujuk pada propenas Tahun 2000/01 yang kemudian di terjemahkan sebagai Propeda/Propeta, IS2010 ketika itu di jadikan rujukan utama dengan sedikit sekali modifikasi. Sedangkan (rancangan) Renstra Departemen Kesehatan 2004 – 2009, hanya sedikit memiliki spirit IS2010. Dikhawatirkan kelak untuk tingkatan kabupaten dan kota, akan semakin jauh, meskipun hingga kini masih belum terlihat.

Sebagai pelaksanaan UU no 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional, mewajibkan semua lembaga kementrian kini membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disebut sebagai Rencana Strategis Kementrian/Lembaga atau Renstra –KL. Renstra KL inilah yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan. Penyusunannya berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

Berbeda dengan Renstra 2001/04 (rancangan) Renstra 2004 – 2009, hanya sedikit merujuk kepada IS 2010. Secara keseluruhan Renstra 2004 – 2009 telah kehilangan esensi IS 2010. Hanya visi yang secara utuh tetap dijadikan visi Renstra, selebihnya misi dan program program yang ada kehilangan ”spirit” IS 2010 sebagaimana ketika awalnya disusun.

IS 2010 sebagai konsep, sebagai ”software” memang masih bisa dikembangkan dimodifikasi. IS 2010 tidak memiliki kekuatan apa apa, hanya memiliki kekuatan moral, tidak memiliki kekuatan hukum. Namun pengembangannya (kalau masih perlu) hendaknya masih berkesuaian dengan visi misi strategi dan pokok program IS 2010 sebagaimana disusun awalnya. Setidaknya tidak kehilangan esensi atau spirit IS 2010 tersebut.

Dengan adanya Renstra KL, harus di telaah lebih cermat lagi apakah Renstra 2004-2009 baik konsep maupun pelaksanaannya secara konsisten mengacu kepada Indonesia Sehat 2010? Demikian pula dengan perencanaan Kabupaten dan Kota?

Sistim Kesehatan Kabupaten Kota

dan Lintas Batas Wilayah Administratif.

Untuk melaksanakan pembangunan kesehatan diperlukan sistim yang bekerja secara efektif. Kelemahan IS 2010 adalah tiadanya gambaran sistim yang jelas. Perlu dikembangkan sistim yankes kabupaten yang flexible dapat bersifat lintas batas kabupaten dan kota serta disesuaikan dengan kondisi wilayah, misalnya kepulauan, daerah terpencil, perlunya sistim rujukan lintas wilayah dlsbnya.

Komponen sistim adalah semua kelembagaan yang ada dalam satu wilayah yang ”concern” dengan kesehatan dan yang harus dirangkai dengan jaringan kerjasama yang baik, menuju terlaksananya ”visi” Kabupaten Sehat 2010.

Banyak masalah kesehatan bersifat lintas batas. Kalau sebuah wilayah terpencil lebih dekat dengan wilayah administratif kabupaten lain, kenapa harus dirujuk segala persoalannya ke RS yang terletak di ibu kota wilayah administratif yang berkenaan yang justru lebih jauh?

Merujuk kepada kejadian KLB akhir akhir ini, hubungan kuratif dan preventif harus erat, hubungan Rumah Sakit dengan Dinas Kesehatan harus dijalin dan senantiasa berhubungan satu sama lain. Diperlukan Sistim pengawasan potensi bahaya KLB atau Sistim Kewaspadaan Dini. Untuk itu sistim rujukan laboratorium dan kerjasama RS dan Dinas Kesehatan harus terjalin dengan efektif.

Kemampuan Manajemen

Untuk melaksanakan IS 2010 diperlukan kemampuan manajemen masalah kesehatan (bukan hanya manajemen administrasi kesehatan). Kemampuan pengandalian faktor risiko yang dapat menimbulkan wabah, misalnya harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi KLB. Kemampuan yang terstandarisir untuk menjadi Kepala Dinas Kesehatan, dewasa ini tidak atau belum ada. Pengangkatan seorang Kepala Dinas, seringkali atas dasar kekerabatan, kedekatan penguasa lokal, atau menjadi bagian dari sebuah ”politik lokal” tanpa memandang kompetensi.

Anggaran

Isu pokok lain, berkenaan dengan pelaksanaan Kabupaten Sehat atau Kota Sehat 2010 adalah anggaran. Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat memberikan perhatian yang khusus terhadap masalah kesehatan yang sangat mengganggu IPM, seperti penyediaan obat gratis malaria, peyediaan tenaga jurumalaria desa dlsbnya. Untuk itu diperlukan anggaran yang memadai. Kemampuan Pemda dan masyarakat terbatas. Penanganan masalah kesehatan yang mengganggu kualitas sdm hendaknya berada dalam ”mainstream.”

Harus ada pembagian yang jelas, mana biaya biaya yang harus di anggarkan oleh Pusat dan oleh Daerah. Idealnya Pemerintah Pusat menanggung logistik esensial, untuk menjamin ”equity” seperti halnya vaksin, obat obat malaria, obat obat tbc dlsbnya. Sedangkan Pemerintah daerah membiayai biaya biaya operasional, serta tenaga tenaga pelaksanaan.

Dalam penanganan malaria misalnya, Pemerintah Pusat berkewajiban menyediakan logistik esensial, seperti obat obat malaria, alat diagnostik, dan berbagai bentuk pelatihan bagi tenaga tenaga lapangan. Pemda menyediakan tenaga yang dilatih, dan diberi tugas secara pro aktif mencari dan mengobati penderita malaria. Penduduk yang sehat, terbebas dari malaria akan lebih produktif dan kreatif.

Tahun 2000 telah terjadi kesepakatan bupati walikota se Indonesia, untuk mengalokasikan 15% masing masing APBD untuk pembangunan kesehatan, realisasinya masih jauh.

Pembangunan infrastruktur kesehatan umumnya diarahkan ke pembangunan Rumah Sakit. Meski pembangunan Rumah Sakit penting, namun pembangunan berorientasi pencegahan seperti jurumalaria desa, posmalaria desa, sanitasi dasar dlsbnya tidak terlihat sebagai investasi penting.

Pelayanan Tingkat Akar Padi.

(isu keterjangkauan dan kualitas yankes)

Penderita malaria, umumnya tinggal di daerah daerah yang sulit terjangkau, seperti pulau pulau kecil, lereng lereng bukit, ladang, serta daerah terpencil lainnya. Mereka mengalami kesulitan menjangkau pelayanan.

Pilihan yang harus diambil oleh Pemerintah Pusat adalah, apakah dana yang terbatas itu untuk memberikan subsidi pelayanan di rumah sakit atau memberikan honorarium ”juru malaria desa” yang terlatih untuk ”menjemput bola” mencari kasus kasus penderita malaria secara pro aktif? Pendekatan ini kita kenal sebagai Pelayanan Akar Padi, dengan pendirian Pos Malaria Desa pada daerah daerah endemik malaria. Pemerintah Pusat dapat menyediakan obat sedangkan Pemerintah Daerah menyediakan tenaga. Pengobatan malaria secara efektif, adalah investasi jangka pendek dan sekaligus jangka panjang.

Demikian pula penderita tbc yang umumnya berada ”terpencil” tidak terjangkau ditengah keramaian kota, di daerah daerah kumuh. Diperlukan tenaga tenaga yang secara pro aktif, mencari dan mengobati kasus yang umumnya miskin dan tidak punya biaya untuk menjangkau pengobatan. Bentuk bentuk pelayanan ”akar padi” sangat diperlukan untuk mengatasi masalah keterjangkauan pelayanan.

Kejadian ”KLB” polio adalah salah satu contoh, betapa lemahnya ”ujung tombak” pelayanan tingkat akar padi. Ibarat Api kecil dibiarkan merebak dan berkembang menjadi besar. Misalnya kasus diare apabila dibiarkan bisa berubah menjadi KLB kholera.

Kesimpulan

Pem diperlukan introspeksi apakah birokrasi kesehatan pada semua tingkatan masih ”committed” terhadap IS 2010? IS 2010 masih relevan dengan kejadian a ahaman Kabupaten dan Kota Sehat 2010, masih harus ditingkatkan, namun ktual akhir akhir ini. Namun nampaknya diperlukan kesungguhan untuk melaksanakan konsep IS 2010 sebagai acuan penyusunan Renstra dan pembangunan kesehatan di Kabupaten dan kota. Beberapa isu pokok telah dikemukakan, disamping masih perlunya sosialisasi dan komitmen terhadap pelaksanaan konsep IS 2010, juga perlu pembangunan sistim untuk melaksanakan konsep Kabupaten dan Kota Sehat, infrastruktur, kemampuan manajemen, anggaran, dan perlunya perkuatan bentuk bentuk pelayanan ”akar padi” serta audit terhadap pelaksanaan IS 2010 itu sendiri.

Bahan Bacaan.

1. Ahmadi UF : Malaria dan Kemiskinan di Indonesia Tinjauan Situasi 1997 – 2001; J. Data dan Informasi Kesehatan; n3; Nov 2003

2. Tresnaningsih E: Kebijakan Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI Menuju Indonesia Sehat 2010; makalah Seminar Nasional Industrial Hygiene Occupational Health and Safety; Dies Natalis UNS, ke XXIX; Surakarta, 31 Maret, 2005

3. Ditjen PPMPL Depkes RI; Data dan Informasi, 2003

4. Ahmadi UF, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah (draft buku teks), 2004

5. Tim Surkesnas, Survei prevalensi tuberkulosis Indonesia thn 2004, Balitbang-Ditjen PPMPL, 2005.

6. Depkes, Rancangan Renstra KL 2004 – 2009

No comments:

Post a Comment